PENDAHULUAN
Kitab yang diturunkan oleh Allah
kepada kekasih-Nya baginda Rosul Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat
jibril adalah al-Qur’an yang mana didalamnya memiliki tujuan-tujuan tertentu.
Tujuan pokok diturunkanya Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk akidah, petunjuk
akhlak, petunjuk syariat dan hukum, qisoh-qisoh umat terdahulu dan juga
berisikan berbagai pengetahuan dan ilmu-ilmu yang perlu diketahui oleh manusia.
Dengan kata lain al-Qur’an diturunkan sesuai dengan tujuan diturunkanya.
Dalam agama islam perkara yang
paling utama yang harus dikatahui, diyakini dan diker jakan adalah berupa
akidah, karena hal tersebut merupakan pokok atau hal paling inti dalam hubungan
antara pencipta dan makhluk yang diciptakan. Telah disebutkan tadi bahwa di
dalam Al-Qur’an terdapat petunjuk-petunjuk mengenai akidah karenanya pemakalah
akan mengupas secara singkat dan cermat mengenai“isi kandungan al-Qur’an
yang berupa akidah”.
Namun sebelumnya manusia tidak
terlepas dari kekurangan dan kesalahan, karenanya kritik dan saran senantiasa
kami nantikan guna meningkatkan kualitas dan kelayakan karya ilmiyah untuk yang
akan datang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
akidah
Secara
etimologi kata akidah diambil dari kata dasar العـقـد yang berarti ikatan. Maksudnya adalah
berkaitan dengan keyakinan atau keimanan seperti yakin adanya Allah SWT,
diutusnya para Rosul, Malaikat, dan akan datangnya hari akhir. Bukan hanya
meyakini adanya zat, bahkan meyakini akan sifat-sifat-Nya. Sedangkan secara
terminologi akidah yaitu perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa yang
menjadi suatu kenyataan teguh dan kokoh. Dengan kata lain, keimanan yang pasti
tida terkandung didalamnya suatu keraguan apapun pada orang yang meyakini.
Akidah juga sebagai dasar atau pondasi manusia dalam menjalani kehidupan.
Karena tanpa adanya akidah manusia akan tersesat.
Akidah
juga memiliki nama lain yang mungkin lebih dikenal pada aliran Ahlus sunnah wal
jama’ah yakni at-Tauhid, as-Sunnah, usulluddiin, asy-Syari’ah dan
al-Iman. bahkan dilalam kitab ‘Aqidatul ‘awwam pembahasan akidah
bukan hanya terpaku pada keenam rukun iman, melainkan prilaku, sifat-sifat,
istri-istri Nabi SAW, puta-putri beliau, bahkan pembahasan mengenai kewajiban
untuk mengetahui semua sifat wajib dan jaiz Allah, juga sifat wajib dan jaiz
rasul. Pembahasan malaikat 10 beserta tugasnyapun tidak terlepas dalam akidah,
karenanya pembahasan akidah sangat luas.
Apa
yang disyari’atkan oleh Allah untuk kita tentang agama, dan yang diwasiatkan
kepada kita sebagaimana yang diwasiatkan kepada para rasul-Nya yang terdahulu
adalah pokok-pokok akidah dan dasar-dasar keimanan, bukan cabang-cabang agama
dan bukan syariat-syariatnya yang bersifat ‘amali. Sebab tiap-tiap umat
mempunyai syariat-syariat yang bersifat ‘amali sesuai dengan situasi dan
kondisinya, sesuai dengan taraf berfikir dan rohaniahnya.[1]
B. Inti
al-Qur’an berupa akidah
Telah
diterangkan dalam bukunya Simbah KH.
Nawawi abdul aziz bahwa al-Qur’an diturunkan untuk kebahagiaan manusia yang
sejati di dunia dan di akherat. Oleh karena itu, Al-Qur’an memerintahkan semua
bentuk kebaikan dan yang mendatangkanya dengan cara yang tidak memberatkan,
termasuk melarang semua bentuk keburukan dan yang mendatangkanya. Perintah itu
baik mengenai hubungan manusia dengan Allah SWT yang meliputi iman dan ibadah
maupun meliputi akhlaqul karimah, amar ma’ruf-nahi munkar dan taawunu
‘alalbirri wat-taqwa.[2]
Dari
keterangan diatas mengertikan bahwa semua manusia tidak ada yang menginginkan
keburukan melainkan kebaikan, termasuk kebaikan di dunia dan di akherat. Untuk
meraih hal tersebut, manusia diperintahkan untuk berbuat baik kepada Allah dan
kepada maklhluk-Nya. Berbuat baik kepada Allah itu tidak dapat diraih jika
tidak adanya pengetahuan mengenai akidah sedangkan akidah termuat dalam
al-Qur’an karenanya manusia dianjurkan untuk mempelajari dan mengamalkan apa
yang telah di perintahkan Allah dalam al-Qur’an.
M. Quraish
shihab menjelaskan dalam bukunya: tujuan diturunkanya al-Quran berbeda dengan
kitab-kitab ilmiyah. Karenanya dibutuhkan penyelidikan dan penelitian tentang
priode diturunkanya wahyu Allah tersebut. Secara garis besar tujuan
diturunkanya al-Qur’an menurut beliau adalah: [3]
1. petunjuk akidah dan kepercayaan
yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan
dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
2. petunjuk mengenai akhlak yang
murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti
oleh manusia dalam kehidupanya secara individual atau kolektif.
3. petunjuk mengenai syariat dan
hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh
manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Atau dengan kata lain
yang lebih singkat, “ al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia kejalan yang harus
ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat”.
Dari
keterangan Quraish shihab diatas, dapat disimpulkan bahwa memang benar inti
Al-Qur’an merupakan akidah islamiyyah yang harus diikuti oleh umat
manusia. Dengan kata lain bahwa Al-Qur’an tersebut diturunkan oleh Allah
ditengah-tengah umat yang memiliki keyakinan sangat bertentangan dengan yang
disampaikan oleh Al-Qur’an. Namun, dengan adanya ajakan, kabar gembira, ancaman dan juga kebagusan akhlak Rasulullah
menjadikan keyakinan penyembah berhala itu dapat berubah secara
berangsur-angsur. Perlu diketahui bersama meskipun inti Al-Qur’an mengenai
akidah tetapi Al-Qur’an juga meliputi hal-hal lainya seperti akhlak, hukum syariat
dan qisoh-qisoh.
Hal
ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 177. Yang
artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan
barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman
kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji,
dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang
yang bertakwa” (Q. S. Al-Baqarah: 177).
C. Bentuk-bentuk
aqidah yang dijelaskan oleh al-qur’an dan contoh-contohnya
Akidah dalam al-Qur’an sangatlah
banyak dan bermacam-macam bentuknya. Pemakalah mengkategorikan akidah atau
keimanan dalam beberapa kategori yakni sbb:
1.
Mengenal Allah SWT
Mengenal Allah SWT merupakan
bentuk pengetahuan dan akidah yang
paling utama. Dikarenakan tujuan utama manusia diciptakan adalah untuk
mengenalkan Allah disamping semua makhluk diperintahkan untuk beribadah kepadaNya.
Dalam mengenal Allah banyak cara yang bisa dikerjakan oleh manusia, ada dengan
memperhatikan dan memikirkan apa yang telah Allah ciptakan ada pula dengan
mengetahui sifat-sifat yang termaktub
dalam al-Qur’an. Manusia diberikan kelebihan dibandingkan makhluk lainya yakni
berupa akal sesungguhnya itu bertujuan untuk memikirkan dan memperhatikan apa
saja yang telah Allah sediakan baik yang bisa dijangkau dengan indrawi maupun
sesuatu yang tidak dapat diindrawi berupa alam gaib.
Sedangkan mengenal Allah dari nama
dan sifat-sifatnya adalah dapat membuka cakrawala betapa besar kekuasaan-Nya.
Hal ini akan mendorong manusia untuk senantiasa bertawadu’ dan memicu
terjalinnya hubungan yang baik antara pencipta dan manusia sebagai makhluk yang
diciptakan.
Firman Allah dalam al-Qur’an surat
al-Isra’: 110.
Sarana lain yang dipergunakan
Islam untuk mengenalkan manusia kepada
Allah adalah dengan menjelaskan nama-nama Allah ( al-Asma’ al-husna) dan
sifat-sifat-Nya yang luhur. Nama-nama dan sifat-sifat allah yang merupakan
sarana yang dipergunakan Allah untuk
memperkenalkan diri-Nya kepada manusia. Sifat-sifat tersebut merupakan jendela
yang dapat menggerakkan perasaan hati dan membukakan cakrawala yang sangat luas
bagi ruh untuk menyaksikan cahaya Allah dan keagungan-Nya. Firman Allah:
Artinya:“ katakanlah: serulah
Allah dan serulah Ar-Rahmaan. Dengan nama yang mana saja yang kamu seru. Dia
mempunyai Al-Asmaul-Husna ( nama-nama yang terbaik”. (Al-Isra’: 110).[4]
Mengetahui sifat-sifat Allah SWT
adalah wajib hukumnya bagi setiap umat islam yang sudah baligh, hal ini sesuai
dalam kitab ‘Aqidatul awwam yang berbunyi:
وبعد فـا علم بوجوب المعرفة #َ من واجب لله عشر
ين صفة
وقا ئم غني وواحد وحي# قادر مريـد
عالـم بكلّ شي
سمـيع البصير والمتـكلّـم # له صفـات سبعـة
تنتـظم
فـقدرة ارادة سمع بصر # حيـا ة
العـلم كلام استـمر
Sifat –sifat Allah terdiri dari
sifat wajib, mustahil, dan sifat jaiz. Sifat wajib Allah diantaranya: Wuju,
Qidam, Baqa’, Mukholafatu Lilkhawadis, Qiyamuhu Binafsihi, Wahdaniya, Qudroh,
Irodah, Sama’, Bashar, Khayat, Ilmu, Kalam dll. Sedangkan sifat mustahil
Allah adalah kebalikan dari sifat wajib-Nya. Pada sifat jaiz (wenang) Allah SWT
memiliki sifat yang dengan anugrah-Nya, keadila-Nya berhak meninggalkan segala
yang mungkin seperti Dia melakuka-Nya.[5]
2. Mengimani kepada alam yang ada dibalik alam semesta atau alam
yang tidak dapat dilihat (alam ghaib).
Beriman kepada apa yang telah
diciptakan oleh Allah berupa alam gaib, merupakan salah satu rukun iman dalam
islam. Pemikiran manusia memiliki batasan tertentu dimana manusia tidak dapat
mengindrawinya namun hanya dapat merasakanya. Alam gaib yang dimaksudkan
seperti adanya alam kubur, alam akherat, surga dan nerakan. Demikian pula
mengenai Dzat Tuhan, bila manusia tidak mampu mengetahui hakikatnya, maka tidak
berarti bahwa Dia tidak ada, bahkan Dia ada dan keberadaan-Nya jauh lebih kuat
dari segala yang ada. Firman Allah :
Artinya: “Dia tidak dapat dicapai oleh
penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dialah
yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”. (Al-An’am: 103).[6]
3. beriman kepada kitab-kitab
Allah
Perlu kita ketahu bersama bahwa
Allah menurunkan kitab bukan hanya al-Qur’an yang masih ada saat ini. Akan
tetapi Allah juga menurunkan kitab-kitab lainya yang diturunkan pada Nabi-nabi
terdahulu sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW. Kitab-kitab tersebut berisikan
petunjuk yang disesuaikan dengan keadaan umat yang menerimanya seperti halnya
taurat yanng disesuakan dengan umat Nabi Musa as, kitab Zabur yang
disesuaikan dengan keadaan umat Nabi Daud as, kitab Injil diturunkan
sesuai dengan keadaan umat Nabi Isa as dan al-Qur’an diturunkan untuk seluruh
umat Nabi Muhammad SAW.
Disamping itu ada kitab-kitab dan shuhuf yang diturunkan kepada Nabi lainya.
Meskipun kita tidak wajib mengetahui secara rinci namun kita tetap wajib
mangimaninya. Seperti shuhufnya Nabi Ibrahim dan Nabi Musa, didalamnyaa
terdapat firma Allah yang maha bijaksana lagi Maha Mengetahui.[7]
Sesungguhnya Allah Maha Suci yang
mempunyai ajaran-ajaran dan pesan-pesan yang diwahyukan kepada para Rasul dan
Nabi-Nya. Firman Allah
Artinya: “manusia itu adalah umat
yang satu (setelah timbul perselisihan). Maka Allah mengutus para Nabi sebagai
pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan Allah menurunkan bersama
mereka kitab dengan benar untuk memberi keputusan di antara manusia tetang
perkara yang mereka pertselisihan”. ( Al-Baqarah:213).[8]
4. Iman kepada para Nabi dan Rasul
Allah
Allah SWT mengutus para Nabi dan
Rasul-Nya tidak lain secara umum adalah sebagai suri tauladan bagi umat Nabi
dan Rasul masing-masing. Begitu juga Nabi Muhammad SAW diutus kepada kita
adalah untuk memberikan suri tauladan yang baik. Nabi dan Rasul yang telah
Allah turunkan sangatlah banyak namun hanya dua puluh lima Nabi dan Rasul yang
wajib kita ketahui dan tidak lepas bagi Nabi yang lain harus kita imani.
Artinya: “katakanlah (hai
orang-orang mu’min):’kami beriman kepada Allah, dan apa yang diturunkan kepada
kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’kub dan anak
cucunya, dan apa yang diturunkan kepada Musa dan ‘Isa serta apa yang diturunkan
kepada nabi-nabi dariTuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di
antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (al-Baqarah: 136).[9]
Allah memberi berbagai
keistimewaan dan keutamaan kepada rasul, agar ia kuat dan mampu memikul
tugas-tugas risalah yang berat, dan agar menjadi contoh tauladan yang diikuti
dalam berbagai urusan, baik agama maupun dunia. Apabila para Rasul tidak
memiliki keistimewaan dalam aspek ‘aqliyah maupun ruhiyah,
niscaya mereka tidak layak untuk menyampaikan petunjuk Allah kepada umat
manusia.
Selain mengimani kerasulan kita
juga diwajibkan untuk mengimani sifat wajib, mustahil, dan sifat jaiznya. Sifat
wajib rasul adalah: sidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tablig
(menyampaikan), dan fathonah (cerdas). Sedangkan sifat mustahil rasul
adalah kebalikan atau lawan dari sifat wajibnya. Sifat jaiz rasul adalah bahwa
raul sama dengan manusia lainya bahwa beliau butuh makan, tidur dan bergerak.
5. Iman kepada hari akhir
Apahkah yang dimaksud dengan kiamat?.
Allah SWT dalam al-Qur’an surat al-Qari’ah: 1-11, menjelaskan sebagian
yang akan terjadi pada hari kiamat tersebut. Untuk lebih jelasnya kita tinjau
saja surat al-Qaria’ah sebagai berikut:
Hari kiamat merupaka ahkir dari
roda kehidupan dan awal roda kehidupan akherat. Meskipun hal ini tidak ada yang
mengetahui kapan datangnya kecuali Allah, kita sebagai umat islam wajib
mengimani dan meyakini tentang akan datangnya hari tersebut. Selain kiamat ada juga
hari-hari dimana manusia akan dihisab dan dimintai pertenggunng jawaban
mengenai tingkah lakunya selama di dunia.
Hari kiamat tidak akan datang sebelum
tanda-tanda kedatangannya telah tiba. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad
SAW yang berbunyi:
وعن ابـي هريرة رضي الله عنه انّ رسول الله ص م
قـال: لاتـقوم السّا عة حتّى يقـاتل المسلمون اليهود حتّى يختبـئ اليهوديّ من وراء
الحجر والشّجر فيـقول الحجر والشجر : يامسلم هذا يهوديّ
خلفي تعال فاقـتلـه الاّ الغرقد فانّه من شجر
اليهود (متفق عليه)
Artinya: dari abu hurairah ra.
Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:” kiamat itu tidak akan datang sebelum kaum
muslimin berperang dengan orang-orang Yahudi sehingga orang-orang Yahudi
bersembunyi dibalik batu dan pohon kemudian batu dan pohon itu berkata: “wahai
orang islam inilah orag yahudi berada dibelakangku maka datanglah kemari
bunuhlah dia”, kecuali pohon gharqad (sejenis cemara) karena pohon itu adalah
pohonya orang yahudi”. (Riwaayat bukhari muslim).[10]
Hari akhir dimulai dengan
kehancuran alam semesta, kemudian semua makhluk hidup menjadi mati, dan bumi
berganti dengan lain, begitu pula segenap langit mengalami perubahan total,
Firman Allah:
Artinya: “ (yaitu) pada hari
(ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan
mereka semuanya (dipadang mahsyar) berkumpul menghadap Allah Yang Maha Esa lagi
Maha Perkasa”. (Ibrahim: 48)[11]
6. Iman terhadap qadar (takdir)
Pembahasan mengenai takdir Allah
merupakan permasalahan yang rumit dan terjadi perdebatan disana sini. Terkhusus
antara Ahlus sunah dengan Wahabi. Mereka berselisih mengenai takdir. Ahlus
sunnah secara garis besar mengatakan bahwa semua hal yang akan terjadi
adalah telah ditetapkan oleh Allah SWT jauh sebelum makhluk diciptakan. Ahlus
sunnah berdasarkan pada surat al-Hadid: 22, hud: 6 dan 34, at-Taubah: 51
dan masih banyak lagi dasar yang tidak bisa tercantum di makalah ini termasuk
yang bersumber dari hadits-hadits Rasul dan dari pendapat para ulama’ dalam
kitabnya masing-masing.[12]
Wahabi mengutarakan pendapatnya
tersebut berdasarka Al-Qur’an surat ar-Ra’du: 11. Pada mulanya pemakalah
juga dibuat bingung dengan kedua pendapat yang sama memiliki dasar berupa
al-Qur’an, hingga akhirnya menyempatkan diskusi bersama dengan sesepuh santri
An Nur. Dalam diskusi tersebut tertumpulah pada pemahaman mengenai ayat secara
kontekstual dan pemahaman yang berdasarkan riwayat. Akhirnya kami menyimpulkan
bahwa pendapat Ahlus sunnah dapat dibenarkan dan pendapat wahabi tidak
dapat dibenarkan dengan alasan bahwa yang dimaksudkan dalam ar-Ra’du: 11
tersebut adalah keadaan bukan suatu takdir. Dicontohkan dengan kepandaian
seseorang, apabila ia pandai sebab belajar, apabila ia juara kelas sebab ia
rajin dan ia bodoh sebab malas dsb.
Jika ditinjau lebih lanjut takdir
ada dua macam, yakni takdir yang dapat diubah dan takdir yang tidak dapat diubah.
Dicontohkan takdir yang dapat diubah seperti kemiskinan seseorang dapat diubah
dengan kerja keras. Sedangkan takdir yang tidak dapat diubah seperti kematian
seseorang. Lalu muncul lagi persoalan mengenai seseorang yang menjalankan
silaturrahmi, karena akan dipanjangkan umurnya. Hal semacam ini ada ulama yang
berpendapat bahwa yang dimaksudkan disitu bukan usia secara jasmani namun
secara kemanfaatan hidup. Ada pula yang berpendapat bahwa kematian dapat
diperpanjang terserah oleh Allah yang mengaturNya.
D. Penjelasan akidah yang diulang-ulang
Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya baginda Rosul
Muhammad merupakan salah satu kemukjizatan. Didalamnya bukan hanya mencantumkan
penjelasan-penjelasan yang dapat dirasio, melainkan juga penjelasan yang jauh
tidak dapat dijangkau oleh akal namun manusia harus mengimaninya. Seperti
adanya surga dan neraka, adanya alam kubur, hal tersebut secara logika dan
indrawi belum sepenuhnya diterima karena manusia belum pernah mengalaminya.
Terkait persoalan mengenai penjelasan akidah dalam
al-Qur’an. Akidah dalam al-Qur’an sangat beraneka ragam bentuk dan
penjelasanya. Termasuk juga penjelasan-penjelasan yang diulang-ulang. Hal
semacam ini bukan menunjukkan al-Qur’an sebagai kitab yang tidak produktif dan
lemah, melainkan sebaliknya. Diulangnya suatu penjelasan secara rasio merupakan
bukti bahwa suatu penjelasan yang sangat penting sehingganya ditekankan oleh
Allah dalam kitab-Nya. Secara Balaghoh diulangnya suatu kalimat juga
menunjukkan susunan dan kemukjizatan didalamnya. Selain itu dalam konteks
pendidikan diulangnya suatu kalimat terlebih sampai tiga kali adalah yang
pertama sebagai tingkat tahu (rasio), kedua tingkat paham (dalam emosi), ketiga
dalam hati hal tersebut akan melekat dan berkesan delam diri manusia.
Bukan hanya penjelasan atau satu ayat yang dijumpai oleh
pemakalah. Namun ada beberapa surat-surat penting yang ditrurunkan Allah SWT
beberapa kali seperti kami contohkan seperti Al-Fatihah dan Al-Ikhlas.
Dalam al-Itqan Imam Jalaluddin As Suyuti mengambil dari Az-Zarkasy dalam
kitab al-Burhan beliau mengatakan bahwa hikmah diturunkanya
ayat-ayat yang sama secara berulang-ulang adalah karena kadang-kadang ada suatu
peristiwa atau pertanyaan yang menyebabkan ayat tersebut harus diturunkan,
padahal ayat yang sama telah diturunkan sebelum peristiwa atau pertanyaan itu
muncul. Kemudian setelah terjadinya peristiwa atau pertanyaan ini ayat itupun
diturunkan kembali kepada Nabi SAW sebagai peringatan, juga sebagai pengingat
bahwa ayat ini mempunyai kandungan yang sama dengan peristiwa yang terjadi.[13]
Syaikh Manna’ al-Qaththan menerangkan dalam Mabais fi
ulumul qu’an yang diambil dari keterangan yang diberikan Az-Zarkasy dalam
kitabnya yakni “ terkadang suatu ayat turun dua kali sebagai penghormatan
kepada kebesaran dan peringatan akan peristiwa yang menyebabkanya, khawatir
terlupakan. Sebagaimana terjadi pada surat al-Fatihah yang turun dua kali.
Sekali di Makah dan sekali di Madinah”.[14]
E. Penjelasan Akidah dalam Surat Makky dan Madany
Sebelum melangkah lebih jauh mengenai akidah dalam surat makky
dan madany terlebih dahulu yang harus diketahui adalah mengenai
pengertian keduanya. Para sarjana muslim mengemukakan empat prespektif dalam
mendefinisikan terminologi makkyah dan madaniyyah. Keempat prespektif
tersebut ialah: masa turun (zaman an-nuzul), tempat turun (makan
an-nuzul), objek pembicaraan (mukhattab), tema pembicaraan (maudu’).[15] Dari prespektif tersebut Banyak sekali pendapat para ulama mengenai hal
diatas. Perbedaan pendapat tersebut karena Rasul tidak memerintahkan untuk
menggolongka dan mengkategorikan mana yang makky dan man yang madany. Karenanya
pemakalah mengumpulkan ada tiga pendapat yang sering dijumpai dalam setiap
pembahasan makky dan madany.
Yang pertama, (pendapat yang paling mashur),
bahwa sesungguhnya yang disebut Makkiyah adalah wahyu yang diturunkan sebelum
hijrah dan yang disebut dengan Madaniyah yaitu wahyu yang diturunkan setelah
hijrahnya Nabi. Meskipun turunya wahyu tersebut berada di Madinah maupun di
Makkah seperti ketika terjadi Fatkhul Makkah atau ketika beliau
menunaikan ibadah haji wada’, dan ketika beliau dalam perjalanan atau tidak
dalam perjalanan. Hal ini sesuai dengan riwayat yang disampaikan Utsman bin Sa’ad
Ar-Razi dengan sanad yang sambung kepada Yahya bin Sallam, ia berkata: “surat
atau ayat yang diturunkan di Makkah adalah yang diturunkan dalam perjalanan
menuju Madinah sebelum Rasulullah sampai di Madinah, maka wahyu tersebut
termasuk Makkiyah. Adapun ayat atau surat yang turun ketika beliau dalam
perjalanan setiba di Madinah, maka dikategorikan Madaniyah”.[16]
Yang kedua, bahwa yang dinamakan dengan
makkiyah adalah wahyu yang turun di makkah meskipun turunya wahyu setelah
hijrah, dan yang disebut dengan madaniyah adalah wahyu yang turun di madinah.
Hal ini dikemukakan oleh At-Thabrani dalam kitabnya Al-Kabir.
Yang ketiga, bahwa yang dimaksud dengan Makkiyah
adalah ayat atau surat yang turun ditujukan untuk penduduk Makkah dan
sekitarnya. Adapun Madaniyah adalah surat atau ayat yang turun ditujukan untuk
penduduk Madinah (mukhattab dan maudu’). Hal ini muncul dari
benak para ulama sebagian pemahaman dari ucapan abdullah bin Mas’ud yang
disebutkan Al-Qadhi Abu Bakar dalam kitab karanganya yang berjudul al-intishar.
Berdasarka pengertian diatas pemakalah dapat mengambil
penjelasan termashur yang diriwayatkan oleh Utsman bin Sa’ad Ar-Razi. Setelah
mengetahui pengertian Makky dan Madany kemudian dilanjutkan dengan
pengklasifikasian surat Makky dan madany, dalam Manna Alkhattan terdapat
delapan puluh dua surat makky, dua puluh surat madany dan 12 surat yang
diperselisihkan. Diantaranya yang
tergolong Makky yaitu: Al-Kahfi, Maryam, Thaha, Al-Anbiya, Al-Hajj, An-Naml,
Al-Qashash, Al-Ankabut, dsb. Sedangkan surat yang tergolong madany yaitu: Al-Baqarah,
An-Nisa’, Muhammad, Al-Hujarat, Al-Munafiqun, Al-Hadid, Al-Ahzab,
An-Nur, At-Tahrim, Muhammad, Al-Hujurat, An-Nashr, Ali Imran dsb. Sedangkan
surat yang diperselisihkan adalah: Al-Fatihah, Ar-Rahman, At-Taghabun,
Al-Qadr, Al-Zalzalah, Alfalaq, Al-Bayyinah, dsb. Namun jika mengembil
pendapat yang pertama mengenani makky dan madany surat atau ayat yang
diperselisihkan tidak akan menjadi persoalan karena melihat waktu turunya yakni
sebelum dan sesudah hijrah. Setelah mengklasifikasikan surat yang tergolong makky
dan madany dilanjutkan untuk membuktikan bahwa penjelasan mengenai akidah
terdapat dalam surat Makky saja atau Madany, kita dapat meninjau beberapa ayat
dibawah ini:
1. Dalam Al-Baqara: 30-39 tergolong
surat madaniyyah terdapat penjelasan mengenai Allah akan menciptakan
Nabi Adam dan dikonfirmasikan
kepada para malaikat-Nya. Dapat disimpulkan mengenai ayat tersebut yerdapa
penjelasan mengenai akidah tentang adanya Malaikat, Nabi Adam, dan Iblis.
2. Dalam al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat
21 tergolong madaniyyah menjelaskan
tentang sifat rasulullah.
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada
(diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
(Q.S. Al-Ahzab ayat 21). Dari ayat tersebut terdapat salah satu perintah untuk
mengikuti akhlak rasulullah dan penjelasan mengenai hari kiamat.
3. Dalam surat An-Nur ayat 24-25 Dari
ayat tersebut dijelaskan mengenai adanya hari pembalasan.
Artinya: pada hari (ketika), lidah,
tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu
mereka kerjakan {24} Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yag
setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang Benar,
lagi Yang menjelaskan (segala sesutatu menurut hakikat yang sebenarnya), {25}.
(Q. S. An-Nur ayat 24-25).
4. Dalam surat At-Tahrim ayat 8
dijelaskan mengenai balasan kepada orang
yang beriman kelak di akherat.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang
semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan
memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari
ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia;
sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil
mereka mengatakan: "Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan
ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.(Q. S.
At-Tahrim ayat 8).
5. Surat Al-Anfal ayat 2 menjelaskan
mengenai keimanan yang berarti membahas tentang akidah atau keyakinan kita
kepda Allah SWT. Ayat tersebut adalah sbb:
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang
beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan
apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya
kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (Q. S. Al-Anfal: 2).[17]
6. Surat Al-Fath ayat 9, 13,
terdapat penjelasan mengenai iman kepada Allah dan Rasulnya sedang ayat 29
terdapat penjelasan mengenai Nabi Muhammad.
Ayat tersebut yang artinya: supaya kamu
sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya,
membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang. {9}, Dan barangsiapa
yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya Kami
menyediakan untuk orang-orang yang kafir neraka yang bernyala-nyala. {13},
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah
keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu
lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya,
tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah
sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu
seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman
itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman
itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati
orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan
kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara
mereka ampunan dan pahala yang besar.{29}.
7. Al-kahfi: 10-26 tergolong makkiyah
menjelaskan tentang kisah ashabul kahfi mengenai taraf keimanan mereka.
8. Al-hajj: 182
tergolong makkiyah menjelaskan tentang iman kepada hari kiamat.
Meninjau uraian diatas dapat diambil kesimpulan mengenai
penjelasn, petunjuk tentang akidah dalam al-Qur’an tidak hanya termuat dalam surat-surat
makky saja melainkan termuat dalam surat-surat madany. Selain itu banyak
dijumpai berupa sifat-sifat Allah pada akhir ayat surat madany seperti
“sesungguhnya Allah maha mengetahui, mendengar, melihat kasih sayang dan juga
maha memberi pembalasan”.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Telah kita ketahui bersama bahwa
al-Qur’an yang diturunkan Allah melalui lantaran malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad
SAW adalah sesuai dengan tujuan diturunkanya. Secara garis besar tujuan
diturunkannya al-Qur’an mengenai akidah, akhlak, dan hukum syariat. Namun
disisilain al-Qur’an juga mencakup pembahasan lainnya seperti kisah-kisah,
riwayat-riwayat, bahkan mengenai ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi umat
manusia.
Akidah merupakan hal yang paling
utama yang disajikan dalam al-Qur’an. Tidak perlu diragukan mengapa ada ayat
yang diulang-ulang itu menunjukkan betapa pentingnya akidah untuk manusia agar
selalu diingat dan ditanam dalam hati mereka. Karenanya Allah mencantumkan
penjelasan mengenai akidah tidak hanya termuat dalam surat-surat makky namun
termuat juga dalam madany.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas,
Siradjuddin. Empat Puluh Masalah Agama. Jilid IV. Jakarta: CV
Pustaka Tarbiyah. 2006.
Abdusshomad,
Muhyiddin. Ahlussunnah Waljama’ah Terjemah dan Syarh ‘Aqidah al-Awam.
Surabaya: Khalista. 2009.
Al-Qur’an Terjemah Bahasa Indonesia. Kudus: Menara Kudus. 2006.
Azis, Nawawi Abdul.
Alaikum Bissawadil A’dhom. Yogyakarta: Pondok
Pesantren An Nur. 2008.
Ammar, Farikh Marzuqi, Ammir Wafi Marzuqi, dkk. Samudera
Ulumul Qur’an. Terj. Al-Itqan fi ulumil qur’an. Jilid 1. Surabaya: PT Bina
Ilmu Offset. Tt.
Anwar, Rosihon. Ulum al-Qur’an. Bandung: CV
Pustaka Setia. 2012.
El-Mezni, Farikh Marzuki. Pengantar Studi Ilmu
al-Qur’an. Terj. Mabais fi Ulumil Qur’an. Jakarta Timur: Pustaka
al-Kautsar. 2006
Sabiq, Sayyid. Aqidah Islamiyah. Jakarta: Robani
Press. 2006.
Shabir,
muslich. Terjemah Riyadhus Shalihin. Jilid II. Semarang: PT Karya Toha Putra. 2004.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Quran. Bandung:
Mizan Media Utama. 20013
[1]
Sayyid Sabiq, Aqidah Islamiyah, (Jakarta: Robani Press, 2006), Hlm. 6.
[2]
Nawawi Abdul Azis, Alaikum Bissawadil A’dhom, (Yogyakarta: Pondok
Pesantren An Nur, 2008), hlm. 62.
[3] M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan Media Utama,
2013), Hlm. 57.
[4] Alqur’an
Terjemah Bahasa Indonesia, (kudus: Menara Kudus, 2006), Hlm. 282.
[5]
Muhyiddin Abdusshomad, Aqidah
Ahlussunnah Waljama’ah Terjemah dan Syarh ‘Aqidah al-Awam, (Surabaya:
Khalista, 2009), Hlm. 15-25.
[6] Alqur’an
Terjemah Bahasa Indonesia, (kudus: Menara Kudus, 2006), Hlm. 128.
[7]
Muhyiddin Abdussalam... Hlm. 39
[8] Alqur’an
Terjemah Bahasa Indonesia, (kudus: Menara Kudus, 2006), Hlm. 33.
[9] Alqur’an
Terjemah Bahasa Indonesia, (kudus: Menara Kudus, 2006), Hlm. 21.
[10]
Muslich Shabir, Terjemah Riyadhus Shalihin, Jilid II, (Semarang: PT
Karya Toha Putra, 2004), Hlm. 349.
[11] Alqur’an
Terjemah Bahasa Indonesia, (kudus: Menara Kudus, 2006), Hlm. 255.
[12]
Siradjuddin Abbas, Empat Puluh Masalah Agama, Jilid IV, (Jakarta: CV Pustaka
Tarbiyah, 2006), Hlm. 274-275.
[13]
Farikh Marzuqi Ammar, Wafi Marzuqi Ammar, dkk, Samudera Ulumul Qur’an
(Al-Itqan fi Ulumil Qur’an) Jilid 1, ( Surabaya: PT Bina Ilmu offset, t.t),
Hlm. 198.
[14]
Aunur Rafiq el-Mazni, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an (Mabais fi Ulumil
Qur’an), (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2006), Hlm. 113.
[15]
Rosihon Anwar, ulum al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), Hlm. 102.
[16]
Farikh Marzuqi Ammar, Wafi Marzuqi Ammar, dkk, Samudera Ulumul Qur’an
(Al-Itqan fi Ulumil Qur’an) Jilid 1, (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, t.t),
Hlm. 3.
[17] Alqur’an
Terjemah Bahasa Indonesia, (kudus: Menara Kudus, 2006), Hlm. 177.